Kontroversi Bitcoin
Mulai
dari keberadaannya yang tidak diakui negara hingga menyandang stigma negatif
sebagai alat pembayaran pasar gelap, inilah daftar kontroversi Bitcoin
terheboh.
Bitcoin
adalah teknologi kripto yang pertama dari jenisnya, dengan transaksi peer-to-peer dan
terdesentralisasi. Diproyeksikan dan dirancang sebagai alternatif untuk
mendapatkan sistem transaksi yang aman, anonim, dan di luar kendali otoritas
maupun pihak ketiga lainnya. Teknologi Bitcoin memang tidak terlalu sukses di
tahun-tahun awalnya.
Namun seperti yang kita lihat sekarang,
Bitcoin telah mengalami kenaikan harga yang kontroversial hingga titik $20,000. Melalui kinerja konsisten, mata uang
kripto ini berhasil menunjukkan keunggulannya atas mata uang fiat. Bitcoin
sekarang diadopsi secara luas oleh masyarakat dan lembaga keuangan. Berikut ini
beberapa kontroversi Bitcoin dan bagaimana cara "raja" dari mata uang
kripto ini mengatasinya.
6 Kontroversi
Bitcoin Yang Perlu Anda Tahu :
1. Kontroversi Pengguna
Bitcoin di Jaringan Gelap dan Ilegal
Saat
penciptaannya sebagai mata uang kripto anonim, Bitcoin mendapatkan tanggapan
buruk dari berbagai komunitas. Mereka menganggap bahwa Bitcoin hanya
bisa digunakan untuk berbagai transaksi gelap dan ilegal seperti pembelian
narkoba, pendanaan teroris, pencucian uang, dan berita kontroversial semacamnya.
Apalagi, pada awalnya Bitcoin terbukti menjadi mode pembayaran yang disukai di
situs dark web dan pasar online yang berurusan dengan
obat-obatan terlarang. Hal itu tak lain disebabkan oleh sisi anonimitas Bitcoin
yang bisa menguntungkan para pelaku kejahatan.
Hingga
tahun 2013, Bitcoin lebih banyak digunakan oleh pengedar narkoba dan
pelaku-pelaku aktivitas ilegal lainnya. Baru setelah adanya sebuah studi yang
dilakukan akhir tahun 2013, Bitcoin perlahan menghapus stigma bahwa dia hanya
digunakan oleh pedagang obat-obatan terlarang. Sejak saat itu hingga sekarang,
penggunaan Bitcoin oleh masyarakat umum semakin meningkat.
2. Kontroversi Peretasan
dan Kebangkrutan Mt. Gox
Mt. Gox adalah bursa Bitcoin terkemuka,
sebelum akhirnya terpaksa ditutup pada awal 2014 menyusul serangkaian peretasan
dan hilangnya Bitcoin dari jaringannya. Kasus yang menjadi kontroversi Bitcoin
ini bermula sejak Juni 2011, saat peretas diduga memanipulasi harga Bitcoin.
Akibatnya, harga Bitcoin anjlok hingga dijual hanya senilai 1 sen.
Pada
tahun 2013, Mt. Gox sempat Offline meskipun mendapat traffic lumayan
tinggi dari liputan media yang positif. Di akhir tahun 2013, Trade Hill, bursa
paling populer kedua setelah Mt. Gox, juga menutup operasinya secara tiba-tiba
dan membuat minat investor menurun. Kemudian, lonceng kematian untuk Bitcoin
berbunyi ketika pada bulan Februari 2014, Mt. Gox diretas dan 850 ribu Bitcoin
dicuri. Meskipun Mt. Gox berhasil menyelamatkan 200 ribu Bitcoin, kepercayaan
investor makin merosot ketika bursa pasar mata uang kripto ini menyatakan bahwa
dirinya bangkrut dan memulai proses likuidasi.
Banyak
yang meramalkan Bitcoin sudah tamat saat itu. Namun tiga setengah tahun
kemudian, tiba-tiba Bitcoin menjadi sangat populer dan mainstream.
Pada Juni 2017, orang-orang mulai tahu bahwa Bitcoin adalah mata uang
alternatif yang kuat, dan peretasan yang dialami bursa pasar kripto Mt. Gox
tidak ada hubungannya dengan kelemahan keamanan dalam jaringan Bitcoin itu
sendiri.
3. Kontroversi Terhadap
Desentralisasi Bitcoin
Pada
dasarnya, pemerintah di seluruh dunia memanipulasi ekonomi di negaranya dengan
kebijakan moneter dan fiskal mereka. Bank sentral memutuskan berapa banyak uang
untuk dicetak dan berapa banyak yang harus dikeluarkan. Nilai uang tergantung
pada keadaan ekonomi dan jumlah yang beredar. Dengan demikian, lembaga
eksternal menentukan nilai uang, sehingga adanya kesalahan perhitungan dapat
menyebabkan kekacauan besar yang berujung pada resesi.
Bitcoin
adalah jawaban untuk sentralisasi, karena dapat menghilangkan ketergantungan
penerbitan dan perputaran uang dari otoritas terpusat. Hal ini tidak disukai
oleh pemerintah, karena mereka bisa kehilangan kendali atas mata uang jika
orang mengadopsi Bitcoin. Meskipun Bitcoin belum dipandang
sebagai ancaman signifikan terhadap uang fiat, tetapi pemerintah tetap
mewaspadai adopsi Bitcoin yang semakin meningkat pesat. Beberapa negara pun
akhirnya mencoba untuk menekan penggunaan mata uang kripto ini.
Baru-baru
ini, China telah melarang semua
bursa pasar Bitcoin dan kegiatan transaksi dengan mata uang kripto. Hal
ini menyebabkan beberapa bursa pasar mata uang kripto, termasuk Binance,
terpaksa pindah lokasi kantor pusat ke negara lain. Tetapi, berkat sifat
Bitcoin sebagai mata uang anonim dan peer to peer, tidak ada ikut
campur otoritas pada setiap transaksi dengan Bitcoin. Enkripsi dari Bitcoin
secara efektif menggagalkan upaya pengawasan pemerintah. Uniknya, beberapa
negara lain seperti Rusia justru merilis kripto tertutup mereka sendiri,
meskipun masih terpusat dan tidak anonim.
4. Kontroversi Status Hukum
Bitcoin
"Apakah Bitcoin merupakan
komoditas atau mata uang virtual ?"
"Haruskah Bitcoin dikenai pajak sebagai komoditas atau diperlakukan sebagai alat pembayaran digital ?"
Sementara
beberapa negara seperti Rusia, Inggris, dan Uni Eropa mengakui Bitcoin sebagai
mata uang virtual yang tidak dikenai pajak, Amerika Serikat dan Israel
memperlakukan Bitcoin sebagai komoditas
kena pajak.
Sementara
itu, India dan China masih belum mengakui Bitcoin sebagai mata uang ataupun
komoditas, dan status hukumnya tidak jelas di negara-negara tersebut.
Meskipun
sebelumnya pemerintah India dan China telah menyatakan bahwa warga bebas
berurusan dengan Bitcoin dan mata uang kripto lainnya, baru-baru ini keduanya
telah mengeluarkan penyataan larangan secara resmi, dan memboikot seluruh bursa
pasar yang ada. Di sisi lain, Jepang telah
meloloskan RUU yang mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran sah, dan
menggantikan peran China sebagai negara yang paling ramah terhadap mata uang
kripto.
Selain
status hukum yang belum jelas, ada keraguan yang berkenaan dengan pemanfaatan
Bitcoin oleh para pengemplang pajak. Untuk mengatasi hal ini, pengungkapan
kepemilikan Bitcoin dapat diwajibkan, sehingga identitas penghindar pajak dapat
terungkap.
5. Kontroversi Fork Dan
Blockchain Baru
Sebuah
Hard Fork adalah percabangan dari Bitcoin menjadi dua kripto yang berbeda. Pada
dasarnya, cabang Blockchain terbagi menjadi dua. Ada kemungkinan kemunculan
fork ini karena source code Bitcoin telah diotak-atik untuk
peningkatan, tapi ada juga yang menganggapnya terjadi secara tidak sengaja.
Pada
2013, ada sebuah Hard Fork muncul karena perbedaan dua versi software penambangan
Bitcoin. Setelah pengguna dihimbau untuk menurunkan (downgrade) versi software yang
dipakai, masalah ini terselesaikan. Pada bulan Agustus 2017, Bitcoin Cash,
sebuah versi yang memungkinkan transaksi lebih cepat dari Bitcoin, dikeluarkan
dari Bitcoin Classic. Tetapi nilai Bitcoin tetap tidak terpengaruh bahkan
setelah Fork dilakukan.
6. Kontroversi Skalabilitas
dan Pembengkakan Biaya Transaksi
Pada
akhir tahun 2017, Bitcoin mampu mencapai harga $20,000 per BTC, naik lebih dari
1,000% dari harga sebelumnya di awal tahun. Volume puncak yang terjadi selama akhir
tahun tersebut menyebabkan overload dalam jaringan. Masalah
kemampuan sistem dalam menangani jumlah data alias skalabilitas ini terjadi
karena antrian transaksi menjadi terlalu besar.
Pada
saat itu, biaya per transaksi membengkak hingga $30 - $35, menanjak drastis
dari biaya awal tahun yang hanya $0.05 - $0.5 per transaksi. Namun semua
masalah itu segera berakhir pada awal tahun 2018, saat jaringan dibekali
dengan SegWit dan Lightning Network. Kedua fitur itu memang belum sempurna, tapi
berkat teknologi pemisahan saksi (tanda tangan) dan LN, biaya transaksi bisa
ditekan kembali pada angka normal.
Meskipun Bitcoin telah menghadapi
banyak tantangan, pada akhirnya Bitcoin selalu dapat mematahkan kontroversi
yang muncul. Sebagai mata uang terdesentralisasi yang berjuang melawan
rintangan, Bitcoin telah memantapkan dirinya karena mekanisme yang kuat dan
aman. Namun demikian, tidak boleh dilupakan juga bila para pengguna
uang kripto harus selalu waspada atas scam yang
memanfaatkan nama Bitcoin.